Serangan Umum 1 Maret 1949: Béda antara owahan

Konten dihapus Konten ditambahkan
Arupako (parembugan | pasumbang)
c éjaan, replaced: Desa → Désa, dokter → dhokter (5), sehat → séhat (3), Indonesia → Indonésia (41) using AWB
c éjaan using AWB
Larik 11:
*Kemenangan strategis Indonésia<!--Indonésia berhasil membuktikan bahwa kekuatan militernya masih kuat-->
*Kemenangan taktis Belanda<!--Serangan TNI berhasil ditahan dengan kerugian minimal-->
|combatant1={{negaranamanagaranama|Indonésia}}
|combatant2={{negaranamanagaranama|Belanda}}
|commander1=[[Jendral]] [[Soedirman]]{{br}} [[Kolonel]] [[A.H Nasution]]{{br}}[[Letnan Kolonel|Letkol]] [[Soeharto]]
|commander2=[[Van Mook]]{{br}} [[Louis Joseph Maria Beel]]
|strength1=-
|strength2=-
|casualties1=300 prajurit lan 53 anggota polisipulisi gugur .
|casualties2=6 gugur ing antarané 3 pasukana saka polisipulisi, uga 14 luka-luka.
|casualties3=Rakyat kang gugur ana ing paperanga ora bisa kaitung cacahé
}}
Larik 24:
'''Serangan Umum 1 Maret 1949''' ya iku kadadean paperangan ing tanggal tanggal [[1 Maret]] [[1949]] ing [[kutha]] [[Yogyakarta]] secara gedhen-gedhenan.Peperangan kan dirancang lan di siapake dèning jajaran paling dhuwur ing wewengkon Divisi III/GM III uga dibiyantu dèning pimpinan pamaréntah sipil adidasar instruksi ska Panglima Besar [[Sudirman]].
<!---
untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonésia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonésia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral [[pasukan]] [[Belanda]] serta membuktikan pada dunia [[internasional]] bahwa [[Tentara Nasional Indonésia]] (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. [[Soeharto]] pada waktu itu sebagai komandan [[brigade X]]/[[Wehrkreis III]] turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayahwewengkon [[Yogyakarta]].
 
== Latar belakang ==
Larik 31:
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah [[republik]] yang kini merupakan medan [[gerilya]]. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
 
Sekitar awal [[Februari]] [[1948]] di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. [[Wiliater Hutagalung]] - yang sejak [[September]] [[1948]] diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayahwewengkon Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar [[Sudirman]] guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan [[PBB]] dan penolakan [[Belanda]] terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonésia sudah tidak ada lagi. Melalui [[Radio Rimba Raya]], Panglima Besar [[Sudirman]] juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar [[Sudirman]] menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.
 
Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayahwewengkon Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar [[Sudirman]], dan menjadi penghubung antara Panglima Besar [[Sudirman]] dengan Panglima Divisi II, Kolonel [[Gatot Subroto]] dan Panglima Divisi III, Kol. [[Bambang Sugeng]]. Selain itu, sebagai dhokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar [[Sudirman]] yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar [[Sudirman]] di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.
 
Pemikiran yang dikembangkan oleh [[Hutagalung]] adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa NegaraNagara Republik Indonésia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonésia – [[PDRI]]), ada organisasi [[TNI]] dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh [[UNCI]] (United Nations Commission for Indonésia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa NegaraNagara Republik Indonésia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonésia, yang dapat berbahasaberbasa [[Inggris]], [[Belanda]] atau [[Perancis]]. Panglima Besar [[Sudirman]] menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
 
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar [[Sudirman]], sebelum kembali ke markasnya di [[Gunung Sumbing]]. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar [[Sudirman]], dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayahwewengkon Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal [[18 Februari]] [[1949]] di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. [[Bambang Sugeng]], dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. [[Sarbini Martodiharjo]], dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. [[K.R.M.T. Wongsonegoro]], Residen [[Banyumas]] [[R. Budiono]], Residen [[Kedu]] [[Salamun]], Bupati [[BanjarnegaraBanjarnagara]] [[R. A. Sumitro Kolopaking]] dan Bupati [[Sangidi]].
 
Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar [[Sudirman]], dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
 
# Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayahwewengkon Divisi III, yang melibatkan ''Wehrkreise'' I, II dan III,
# Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
# Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayahwewengkon Divisi III,
# Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
# Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
::* Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
::* Unit PEPOLIT (Pendidikan PolitikPulitik Tentara) Kementerian Pertahanan.
 
Tujuan utama dari ini rencana adalah bagaimana menunjukkan eksistensi [[TNI]] dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonésia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi [[TNI]], maka anggota [[UNCI]], wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat ''perwira-perwira yang berseragam [[TNI]]''.
 
Setelah dilakukan pembahasanpembasan yang mendalam, ''grand design'' yang diajukan oleh [[Hutagalung]] disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel [[Bambang Sugeng]] bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah [[Yogyakarta]].
 
Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
 
# [[Yogyakarta]] adalah IbukotaKutha krajan [[RI]], sehingga bila dapat ''direbut'' walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonésia melawan Belanda.
# Keberadaan banyak wartawan asing di [[Hotel Merdeka]] [[Yogyakarta]], serta masih adanya anggota delegasi [[UNCI]] [[(KTN)]] serta pengamat militer dari PBB.
# Langsung di bawah wilayahwewengkon Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
 
Selain itu sejak dikeluarkan [[Perintah Siasat]] tertanggal [[1 Januari]] [[1949]] dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara [[Belanda]], telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayahwewengkon Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah ''terlatih'' dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.
 
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur [[Wongsonegoro]] serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.
 
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasaberbasa [[Belanda]], [[Inggris]] atau [[Prancis]] dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna ''menunjukkan diri'' kepada anggota-anggota [[UNCI]] serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel [[Wiyono]], Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di [[Gunung Sumbing]] akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasaberbasa [[Belanda]] dan [[Inggris]].
 
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan [[Tentara Nasional Indonésia]] terhadap tentara [[Belanda]], terutama terhadap [[Yogyakarta]], IbukotaKutha krajan [[Republik]]. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. [[T.B. Simatupang]] yang bermarkas di Pedukuhan [[Banaran]], désa [[Banjarsari]], untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI ([[AURI]]) di [[Playen]], dekat [[Wonosari]], agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas [[Yogyakarta]] segera disiarkan.
 
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila [[Belanda]] melihat bahwa [[Yogyakarta]] diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan [[Belanda]] yang kuat seperti [[Magelang]], [[Semarang]] dan [[Solo]]. Jarak tempuh (waktu itu) [[Magelang]] - [[Yogya]] hanya sekitar 3 - 4 jam saja; [[Solo]] - [[Yogya]], sekitar 4 - 5 jam, dan [[Semarang]] - [[Yogya]], sekitar 6 - 7 jam. [[Magelang]] dan [[Semarang]] (bagian Barat) berada di wilayahwewengkon kewenangan Divisi III GM III, namun [[Solo]], di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel [[Gatot Subroto]]. Oleh karena itu, serangan di wilayahwewengkon Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan [[Belanda]] dari [[Solo]] dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
 
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur [[Wongsonegoro]], Residen [[Budiono]], Residen [[Salamun]], Bupati [[Sangidi]] dan Bupati [[Sumitro Kolopaking]] ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayahwewengkon masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Désa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
 
Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada [[PMI]]. Peran [[PMI]] sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep [[Pertahanan Rakyat Total]] - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal [[3 Juni]] [[1948]], butir 8 menyebutkan: Keséhatan terutama tergantung kepada Keséhatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dhokter dan [[rumah obat]] mesti menjadi perhatian.
Larik 75:
Walaupun dengan risiko besar, [[Mas Sutardjo Kertohadikusumo|Sutarjo Kartohadikusumo]], Ketua [[DPA]] yang juga adalah Ketua [[PMI]] (Palang Merah Indonésia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dhokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh [[Belanda]] dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan ''Wehrkreise'' II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di [[Gunung Sumbing]] pada [[18 Februari 1949]] kepada Panglima Besar [[Sudirman]] dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel [[Gatot Subroto]].
 
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayahwewengkon [[Wehrkreise I]] di bawah pimpinan Letkol. [[Suharto]], akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel [[Bambang Sugeng]]. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. [[Suharto]], untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan ''grand design'' kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. [[Kusen]] (dhokter pribadi [[Bambang Sugeng]]), [[Bambang Surono]] (adik [[Bambang Sugeng]]), seorang mantri keséhatan, seorang sopir dari dr. [[Kusen]], Letnan [[Amron Tanjung]] (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
 
Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. [[Wiyono]] dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasaberbasa [[Belanda]], [[Inggris]] atau [[Prancis]] yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan [[Banaran]] mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan [[Bambang Sugeng]], dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. [[Ali Budiardjo|M. Ali Budiarjo]], yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
 
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di [[Playen]] dan di [[Wiladek]], yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan [[Wehrkreise I]] Kolonel [[Bachrun]], yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. [[Sarbini]].
 
Brigade IX di bawah komando Letkol [[Achmad Yani]], diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari [[Magelang]] ke [[Yogyakarta]]. Tanggal [[19 Februari]] [[1949]]. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli [[Belanda]]. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap désa. Dari Banaran rombongan menuju wilayahwewengkon [[Wehrkreise III]] melalui pegunungan [[Menoreh]] untuk menyampaikan perintah kepada Komandan [[Wehrkreis III]] Letkol. [[Suharto]]. [[Bambang Sugeng]] beserta rombongan mampir di [[Pengasih]], tempat kediaman mertua [[Bambang Sugeng]] dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat [[Pengasih]] (Keterangan dari [[Bambang Purnomo]], adik kandung alm. [[Bambang Sugeng]], yang kini tinggal di [[Temanggung]]). Pertemuan dengan Letkol. [[Suharto]] berlangsung di [[Brosot]], dekat [[Wates]]. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. [[Bambang Sugeng]], Perwira Teritorial Letkol. dr. [[Wiliater Hutagalung]] beserta ajudan Letnan [[Amron Tanjung]], Komandan [[Wehrkreise III]]/[[Brigade X]] Letkol. [[Suharto]] beserta ajudan. Kepada [[Suharto]] diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal [[25 Februari]] dan [[1 Maret]] [[1949]]. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. [[Wiyono]] dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
 
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal [[1 Maret]] [[1949]], pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.
 
Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota [[Yogyakarta]] (ibu kota negaranagara) pada tanggal [[1 Maret]] [[1949]], dibawah pimpinan Letnan Kolonel [[Suharto]], Komandan [[Brigade 10]] daerah [[Wehrkreise III]], setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari [[Sri Sultan Hamengkubuwono IX]], Kepala [[Daerah Istimewa Yogyakarta]].
 
== Jalannya serangan Umum ==
 
Tanggal [[1 Maret]] [[1949]], pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayahwewengkon Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah IbukotaKutha krajan Republik, [[Yogyakarta]], serta koar-besaran oleh pasukan [[Brigade X]] yang diperkuat dengan satu Batalyon dari [[Brigade IX]], sedangkan serangan terhadap pertahanan [[Belanda]] di [[Magelang]] dan penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama [[Magelang]], sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel [[Bambang Sugeng]] kepada Komandan [[Wehrkreis I]], Letkol [[Bahrun]] dan Komandan [[Wehrkreis II]] Letkol [[Sarbini]]. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayahwewengkon Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota [[Solo]], guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke [[Yogyakarta]].
 
Pos komando ditempatkan di désa [[Muto]]. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol [[Soeharto]] langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas [[Malioboro]]. Sektor Timur dipimpin [[Ventje Sumual]], sektor selatan dan timur dipimpim Mayor [[Sardjono]], sektor utara oleh Mayor [[Kusno]]. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan [[Amir Murtono]] dan Letnan [[Masduki]] sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI mundur
Larik 97:
== Kerugian di kedua belah pihak ==
 
Dari pihak [[Belanda]], tercatat 6 orang tewas, dan diantaranya adalah 3 orang anggota polisipulisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan [[Belanda]] melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.
 
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal [[Meier]] (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), [[Dr. Angent]] (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel [[van Langen]] (komandan pasukan di [[Yogya]]) dan Residen [[Stock]] (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
 
Dalam serangan terhadap [[Yogya]], pihak [[Indonésia]] mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisipulisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda [[De Wappen Broeder]] terbitan [[Maret]] [[1949]], korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.
 
== Perkembangan setelah serangan umum 1 maret ==
Larik 115:
Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas [[Yogyakarta]] 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di [[Medan]] ([[Medan Area]], [[Oktober]] [[1945]]), [[Palagan Ambarawa]] ([[12 Desember|12]] – [[15 Desember]] [[1945]]), [[Bandung Lautan Api]] ([[April]] [[1946]]), Perang [[Puputan Margarana]] [[Bali]] ([[20 November]] [[1946]]), [[Pertempuran 5 hari 5 malam]] di [[Palembang]] ([[1 Januari|1]] – [[5 Januari]] [[1947]]) dan juga tidak melebihi semangat berjuang [[Divisi Siliwangi]], ketika melakukan ''long march'', yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan – sebagian bersama keluarga mereka - dari [[Yogyakarta]]/[[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Barat]], dalam rangka melancarkan operasi [[Wingate]] untuk melakukan perang gerilya di [[Jawa Barat]], setelah [[Belanda]] melancarkan [[Agresi II]] tanggal [[19 Desember]] [[1948]]. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonésia adalah perjuangan ''arek - arek Suroboyo'' pada [[Pertempuran di Surabaya]] / [[Peristiwa 10 November]] [[1945]], yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal [[10 November]] sebagai [[Hari Pahlawan]].
 
Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas [[Yogyakarta]] yang kemudian dilaksanakan pada [[1 Maret]] [[1949]], dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayahwewengkon Divisi III/GM III - dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat - berdasarkan instruksi dari Panglima Besar [[Sudirman]], untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa [[TNI]] - berarti juga [[Republik Indonésia]] - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonésia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan [[PBB]].
 
Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat, melainkan juga [[AURI]], Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat [[PDRI]] di [[Jawa]]) dan Pepolit dari Kementerian Pertahanan. Pasukan yang terlibat langsung dalam penyerangan terhadap Yogyakarta adalah dari [[Brigade IX]] dan [[Brigade X]], didukung oleh pasukan [[Wehrkreis I]] dan II, yang bertugas mengikat Belanda dalam pertempuran di luar [[Wehrkreis III]], guna mencegah atau paling tidak memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta. Tidak mungkin seorang panglima atau komandan, tidak mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di bawah komandonya, untuk menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Perlu diingat, ketika [[Belanda]] menduduki IbukotaKutha krajan [[RI]], [[Yogyakarta]], tanpa perlawanan dari [[TNI]], karena dari semula telah diperhitungkan, kekuatan [[TNI]] tidak sanggup menahan serangan [[Belanda]]. Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan pasukan memerintahkan melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang kuat, tanpa memikirkan perlindungan belakang. Selain itu, juga penting masalah logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan untuk ribuan pejuang serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di luar [[TNI]].
 
Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan PolitikPulitik Tentara) Kementerian Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel [[T.B. Simatupang]], Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita mengenai serangan tersebut ke luar negeri, melibatkan pemancar radio [[AURI]] di [[Playen]], dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat, yang waktu itu berada di [[Wiladek]].
 
Cukup kuat alasan untuk meragukan versi yang mengatakan, bahwa seorang komandan brigade dapat memberi tugas kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang berada dua tingkat di atasnya, untuk membuat teks (dalam bahasabasa [[Inggris]]) yang akan disampaikan kepada pihak [[AURI]] untuk kemudian disiarkan oleh stasiun pemancar [[AURI]]. Dengan demikian, menurut versi ini, perencanaan serta persiapan serangan dilakukan di jajaran brigade, kemudian "memberikan instruksi" kepada sejumlah atasan, termasuk Panglima Divisi.
 
Perlu diketahui, bahwa selama perang gerilya, berdasarkan Instruksi No. 1/MBKD/1948 tertanggal 22 Desember 1948 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa (MBKD), Kolonel [[Abdul Haris Nasution]], dibentuk Pemerintah Militer di seluruh [[Jawa]]. Struktur dan hirarki militer berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas.
Larik 127:
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, tidak mungkin seorang komandan pasukan dapat menggerakkan pasukan-pasukan lain yang bukan di bawah komandonya tanpa seizin atasan. Seandainya ada gerakan pasukan lain, pasti harus dengan perintah dari atasan, dan tidak mungkin dilakukan oleh komandan yang satu level. Apalagi menugaskan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang yang dalam hirarki militer berada dua tingkat di atasnya, dan pihak Kementerian Pertahanan serta pihak AURI, yang memiliki/mengoperasikan pemancar radio. Berdasarkan bukti dan dokumen yang ada, serangan tersebut jelas melibatkan berapa pihak di luar [[Brigade X]]/[[Wehrkreis III]]; bahkan terlihat peran beberapa atasan langsung Letkol [[Suharto]].
 
Masih terdapat cukup bukti serta dokumen yang menunjukkan, bahwa kendali seluruh operasi di wilayahwewengkon Divisi III tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu Kolonel [[Bambang Sugeng]]. Hal ini terbukti dengan jelas, a.l. dengan adanya Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang ditujukan kepada Komandan [[Wehrkreis II]] Letkol. [[M. Bachrun]], di mana jelas disebutkan, bahwa Instruksi Rahasia tersebut sehubungan dengan perintah yang diberikan kepada [[Komandan Wehrkreis III]], Letkol [[Suharto]]. Juga disebutkan, bahwa pasukan yang langsung membantu dalam serangan ke kota adalah [[Brigade IX]].
 
Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel (Purn.) dr. [[W. Hutagalung]] disebutkan, bahwa Komandan [[Wehrkreis II]] Letkol [[Sarbini]] hadir dalam rapat perencanaan, sehingga tidak diperlukan lagi Instruksi tertulis.
Larik 135:
Dari dokumen ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-besaran adalah untuk menarik perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan oleh Panglima Besar [[Sudirman]] pada bulan Juni 1948.
 
Dokumen ketiga yang membuktikan bahwa seluruh operasi tersebut ada di bawah kendali Panglima Divisi III/GM III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19, tertanggal 15 Maret 1949. Perintah diberikan kepada komandan [[Wehrkreis I]] (Letkol. [[Bachrun]]) dan II (Letkol. [[Sarbini]]), untuk meningkatkan penyerangan terhadap tentara [[Belanda]] di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di wilayahwewengkon Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949.
 
Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang Sugeng, yaitu:
Larik 143:
# Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,
 
membuktikan bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayahwewengkon [[Divisi III]], tetap diatur dan dikendalikan oleh Panglima [[Divisi III]]/[[Gubernur Militer III]]. Dokumen-dokumen tersebut diperkuat antara lain dengan catatan harian Kolonel [[Simatupang]], Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr. [[Wiliater Hutagalung]], Perwira Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari [[A.H. Nasution]], yang waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua dokumen menunjukkan, bahwa Panglima [[Divisi III]] selalu memberikan instruksi dan melibatkan ketiga Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas, bahwa komando operasi ada di tangan Panglima Divisi, dan bukan di tangan Komandan Brigade.
 
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian [[Simatupang]] tertanggal 18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari [[Banaran]], di mana tertera: Kolonel [[Bambang Sugeng]], yang sedang mengunjungi daerah [[Yogyakarta]] (dia adalah Gubernur Militer daerah [[Yogyakarta]] - [[Kedu]] - [[Banyumas]] - [[Pekalongan]] - sebagian dari [[Semarang]]) datang dan bermalam di [[Banaran]].
 
Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan [[Budiarjo]] terbukti, bahwa [[Simatupang]] banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat dilihat, bahwa [[Simatupang]] telah mempersiapkan teks dalam bahasabasa [[Inggris]] tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut disiarkan oleh pemancar [[AURI]] [[Playen]], setelah serangan dilaksanakan tanggal 1 Maret 1949. Juga dari catatan [[Simatupang]] dapat dilihat, bahwa di [[Wiladek]] mereka juga telah "dipersiapkan" untuk menyiarkan berita mengenai serangan atas [[Yogyakarta]]. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa [[Simatupang]] juga memberikan teks yang akan dibacakan seperti halnya di [[Playen]], karena dalam catatan hariannya, [[Simatupang]] sendiri tidak menyebutkan nama [[Budiarjo]] ketika dia menyampaikan teks yang akan dibacakan di [[Playen]]. Di sini terlihat jelas, bahwa "Serangan Spektakuler" tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi dunia internasional.
 
Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari [[Banaran]], sekaligus juga menunjukkan keterlibatan besar dari [[Simatupang]], yang dalam hirarki militer beberapa tingkat di atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun 1960, ketika [[Suharto]] belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk kepentingan penguasa.
Larik 164:
Selama perjalanan, Kapten [[Suparjo]] (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan utusan untuk memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada. Tercatat antara lain:
 
"Tanggal 8.2.1949, di désa [[Pringapus]]. Mengirimkan beberapa orang ke [[Yogyakarta]], di antaranya [[Harsono Cokroaminoto]] untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai politikpulitik, Letnan [[Basuki]] dan dr. [[Suwondo]] (dhokter pribadi Panglima Besar) untuk mencari obat-obatan, Kapten [[Cokropanolo]] untuk menghadap Sri Sultan … Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir semuanya ditangkap [[Belanda]], yang tidak ditangkap hanya dr. [[Suwondo]] dan Kapten [[Cokropranolo]].
Tanggal 3.3.1949 di désa [[Sobo]], datang utusan dari Kolonel [[Gatot Subroto]] dengan satu kompi tentara dipimpin Letkol. [[Su'adi]], untuk mengawal Pak Dirman"
 
Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa Panglima Divisi/Gubernur Militer serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui keberadaan Panglima Besar, dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk bertemu dengan pimpinan militer dan sipil, seperti beberapa menteri yang tidak ditangkap [[Belanda]].
 
Juga terdapat kejanggalan mengenai pernyataan [[Suharto]] tersebut, yaitu bahwa dia mengambil keputusan tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar Sudirman. Pertama, hal itu sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan Kolonel [[Suharto]], Komandan [[Brigade X]], masih mempunyai atasan langsung, yaitu [[Kolonel Bambang Sugeng]], Panglima [[Divisi III]], yang markasnya hanya berjarak sekitar dua hari berjalan kaki dari markas [[Wehrkreis III]]. Juga ada Kolonel [[A.H. Nasution]], Panglima Tentara dan Teritorium [[Jawa]], dan Markas Besar Komando [[Jawa]] berada di désa [[Manisrenggo]], di lereng [[gunung Merapi]]. Selain itu masih ada Kolonel [[Simatupang]], Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang bermarkas di pedukuhan [[Banaran]], désa [[Banjarsari]] di lereng [[gunung Sumbing]], tidak jauh dari markas [[Divisi III]]. Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa seorang komandan brigade ingin berhubungan langsung dengan Panglima Besar, dengan melewati tiga jajaran di atasnya. Semua markas-markas di wilayahwewengkon [[Divisi III]] berada dalam radius sekitar 24 jam berjalan kaki.
 
Uraian [[Sumual]], yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menunjukkan dengan tegas, bahwa perintah serangan umum datang dari Panglima [[Divisi III]]/GM III Kolonel [[Bambang Sugeng]], dan bukan gagasan [[Suharto]] atau perintah dari [[Hamengku Buwono IX]].
Larik 188:
 
Pemberian perintah memang dimungkinkan, seandainya gerakan pasukan tersebut sangat terbatas pada pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang komandan, tanpa melibatkan pasukan lain, serta tidak memerlukan persiapan yang besar, di mana masalah logistik dapat ditangani sendiri.
Di beberapa bagian, buku [[SESKOAD]] berusaha untuk tidak mengabaikan peran HB IX, di mana disebutkan, bahwa selain [[Suharto]], HB IX sangat rajin mendengarkan siaran radio luar negeri. Juga berdua mempunyai gagasan untuk segera mengadakan serangan umum, sejalan dengan Surat Perintah Siasat No. 4 dari Panglima Divisi III Kolonel [[Bambang Sugeng]]. Hanya yang mengherankan adalah disebutkannya Perintah Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi dari Panglima Divisi [[Bambang Sugeng]] kepada Komandan Daerah (Wehrkreis) III, Letnan Kolonel [[Suharto]], untuk melakukan serangan atas IbukotaKutha krajan [[Yogyakarta]] antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949.
 
Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan umum, tetapi tidak dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX memanggil [[Suharto]] untuk menghadap:
Larik 204:
Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX yang dikenal sangat low profile dan dekat dengan rakyat, sangat diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah yang ditempuh untuk menciptakan suatu legenda baru untuk mengkultuskan dirinya. Versi ini juga mengekspos, seolah-olah serangan terhadap [[Yogyakarta]] tersebut menjadi tindakan, yang memaksa [[Belanda]] kembali ke meja perundingan di [[PBB]] di [[Lake Success]] (Tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu adalah [[Lake Success]], [[Amerika Serikat]], dan [[Paris]], [[Prancis]]).
 
Brigjen. (Purn.) [[Marsudi]] seperti dikutip berbagai media, a.l. situs web koridor.com tertanggal 23 Juni 2000, menyebutkan, bahwa [[Hamengku Buwono IX]] yang memberikan perintah kepada Suharto. Koridor.com menuliskan:"Salah satu pelaku Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) [[C Marsoedi]] menegaskan, ide serangan terhadap kekuatan militer [[Belanda]], yang menduduki ibukotakutha krajan RI [[Yogyakarta]]; pada Siang hari datang dari [[Sri Sultan Hamengku Buwono IX]].
 
Dalam seminar tentang Peranan [[Wehrkreise III]] Pada Masa [[Perang Kemerdekaan II]] 1948-1949 di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) [[Yogyakarta]], Kamis, [[Marsoedi]] mengemukakan, tidaklah benar bila ide itu berasal dari [[Soeharto]], yang saat itu menjadi Komandan [[Wehrkreise III]] berpangkat Overstee (Letkol) dan kemudian menjadi orang pertama [[Orde Baru]].
 
Menurut dia, juga tidak benar [[Soeharto]] pada masa itu tidak pernah menghadap Sri Sultan HB IX. "Saya sendiri yang menjadi penghubung antara HB IX dengan [[Soeharto]]," katanya. Ia menjelaskan, pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar masuk ke Kraton Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan kemudian bertemu empat mata dengan Sri Sultan HB IX di kediaman [[Prabuningrat|GBPH Prabuningrat]], saudara Sri Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX.
Pertemuan itu berlangsung dalam suasana gelap karena seluruh lampu dimatikan. Saat menghadap Sri Sultan, Soeharto mengenakan busana pranakan, jenisjinis baju tradisional khusus bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Bahkan saat keluar dari pertemuan itu, [[Soeharto]] sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek. "Tunggu perintah lebih lanjut," kata [[Marsoedi]] menirukan ucapan [[Soeharto]] waktu itu.
Ia mengungkapkan, sebelum bertemu [[Soeharto]], Sri Sultan pada 1 Februari berkirim surat kepada Panglima Besar [[Soedirman]] dan kemudian dijawab oleh Bapak [[TNI]] ini agar menghubungi Letkol [[Soeharto]] di [[Blibis]]."
 
Larik 216:
 
Sangat tidak tepat, apabila [[Marsudi]] menyebutkan "Peranan Panglima Divisi tak terasa." [[Marsudi]], yang waktu itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai komandan Sub-Wehrkreis 101, tentu tidak pada posisi untuk menerima instruksi/perintah langsung dari Panglima Divisi, karena Panglima Divisi cukup memberikan instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai dengan hirarki militer. [[Marsudi]] yang setelah usai [[Perang Kemerdekaan II]] terus akrab dengan para perwira yang dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM), Staf Divisi serta pimpinan brigade, seharusnya cukup mendengar dan mengetahui peranan [[Panglima Divisi III]]/[[Gubernur Militer III]] Kolonel [[Bambang Sugeng]].
Panglima Divisi Kolonel [[Bambang Sugeng]], selain yang langsung memimpin rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayahwewengkon [[Gubernur Militer III]] pada 18 Februari 1949 -di mana disusun "Grand Design" Serangan Umum tersebut- juga memimpin sendiri rombongan dengan melakukan perjalanan kaki berhari-hari dari lereng [[Gunung Sumbing]], menuju [[Brosot]] untuk menyampaikan "Grand Design" itu kepada pihak-pihak yang terkait, seperti Kolonel [[Simatupang]], Kolonel [[Wiyono]] dari PEPOLIT dan termasuk kepada Letkol [[Suharto]].
 
Dari dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera dalam catatan harian Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel [[Simatupang]] tertanggal 18 Februari 1949, sebenarnya sudah sangat jelas peran Panglima [[Divisi III]]/[[Gubernur Militer III]] Kolonel Bambang Sugeng.
Larik 240:
 
“Skenario” yang terbaru terkesan sangat berlebihan, dan mungkin dapat dikatakan telah melampaui batas kewajaran, sebagaimana dilukiskan dalam buku yang ditulis oleh tiga orang pakar sejarah. Berikut ini kutipan lengkap dari buku tersebut (tanpa terputus dan tidak diubah titik-komanya):
"... kemudian Presiden dan Wapres di [[Gedung Agung]] ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada [[Syafruddin PrawiranegaraPrawiranagara]] dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh [[Sri Sultan HB IX]], merupakan pimpinan [[RI]] yang tetap di [[Yogyakarta]], dimana [[kraton]] berada maka praktis perjuangan kita hanya menggunakan jalan Diplomasi PolitikPulitik kepada dunia Internasional/[[PBB]], dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah [[RI]] di Yogya tersebut [[Sri Sultan HB IX]] dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan [[Wehrkreis]]. Demikianlah sebagai seorang NegarawanNagarawan yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri Koordinator Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah [[RI]] telah "hilang" semenjak [[Sukarno]]-[[Hatta]] diasingkan Posisi [[TNI]] sudah sangat "lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga NegaraNagara dan Pemerintah, kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negaranagara dan masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus "Jalan Keluar" dari "kemiskinan", jadi beliau mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya ..."
 
Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan [[Wehrkreis]]. Agak mengherankan, karena dalam banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut. Memang ketika [[Belanda]] melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, [[Re-Ra]] (Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh [[TNI]] belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke [[TNI]].
Larik 254:
Dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang banyak melampirkan fotocopy surat-menyurat yang penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman. Demikian juga dengan Nasution, yang selain melampirkan copy dari dokumen asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen selama perang gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.
 
Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang adalah atas perintah dari HB IX untuk menemuinya. Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya keterkaitan antara Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun dengan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga secara keseluruhan, belum ditemukan sumber otentik atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah satu operasi militer. Demikian juga Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan serangan umum di wilayahwewengkon Divisi III, ataupun terhadap Yogyakarta. Satu-satunya buku (naskah) yang secara eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang diterima di dekat Pacitan pada awal bulan Februari 1949, adalah naskah buku dr. W. Hutagalung, yang hingga kini belum diterbitkan. Jadi agak mengherankan, bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu sumber pembuktian, dapat menuliskan:
"... T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui Budiarjo..."
 
Larik 261:
Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya untuk mengukuhkan "kajian ilmiah" tersebut dengan Keputusan Presiden Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam harian Kompas tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis:Bahkan DPRD (DI Yogyakarta-pen.) sendiri telah menulis surat kepada Presiden [[Abdurrahman Wahid]] untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk meluruskan fakta sejarah itu. "...de facto penggagas SO 1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi secara de jure harus dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah bangsa ini." demikian [[Budi Hartono]].
 
Hal baru ini boleh dikatakan mungkin "unik", yaitu suatu penulisan sejarah minta dikukuhkan melalui SK Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Presiden, atau memerintahkan lembaga-lembaga negaranagara untuk mengukuhkan versinya.
 
Untuk meletakkan sesuai proporsinya, perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa "Serangan Spektakuler" -bahkan seluruh serangan umum di wilayahwewengkon Divisi III- tersebut bukanlah pemicu perundingan antara Belanda dan Republik Indonésia. Agresi Belanda yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, dilakukan saat perundingan antara Indonésia dan Belanda sedang berlangsung. Perundingan tersebut difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB, yang waktu itu lebih dikenal sebagai Komisi Tiga NegaraNagara (KTN). Namun, keberhasilan "Serangan Umum" (serangan secara besar-besaran yang serentak dilancarkan) di seluruh wilayahwewengkon Divisi II dan III, termasuk "serangan spektakuler" terhadap Yogyakarta dan hampir bersamaan dilakukan di wilayahwewengkon Divisi I dan IV, menambah jumlah keberhasilan serangan Tentara Nasional Indonésia (TNI) di seluruh Indonésia, sebagai bukti bahwa TNI masih ada.
Keberhasilan "Serangan Umum" tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan berbagai pihak. Sangat banyak orang dan pihak yang terlibat langsung dalam perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua orang saja yang berjasa, melainkan banyak sekali. Juga tidak hanya Angkatan Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan pejuang. Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonésia di daerah-daerah pertempuran.
 
Selain itu harus pula diingat, bahwa perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya di sekitar Yogyakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonésia, yaitu di [[Jawa Barat]], [[Jawa Timur]], [[Sumatera]], [[Kalimantan]], [[Sulawesi]], dan ini adalah bagian dari seluruh potensi perjuangan kemerdekaan: Diplomasi dan Militer. Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara reguler/TNI saja, melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran, sebagaimana dituturkan dalam buku [[Setiadi Kartohadikusumo]]:"Pemuda-pemuda yang membantu PMI (Palang Merah Indonésia), kalau malam juga ikut menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada beberapa orang yang tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya, sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA [[Tugu]] dan di [[Imogiri]]."
 
Melihat begitu banyak pihak yang berperan dalam pembahasanpembasan, perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, tentu tidak pada tempatnya, apabila untuk keseluruhan episode tersebut direduksi menjadi peran dua orang, yaitu hanya ada pemrakarsa dan pelaksana; selebihnya, dianggap tidak penting. Di samping itu, masih sangat diragukan kebenaran versi yang mendukung kedua story tersebut.
 
Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penulisan sejarah adalah suatu "never ending process", suatu proses yang tidak akan berakhir, karena sering dapat ditemukan bukti baru, sehingga dengan demikian penulisan sebelumnya perlu direvisi atau mendapat penilaian baru.
 
Oleh karena itu, selama tidak ditemukan dokumen atau bukti otentik yang dapat membuktikan perintah atau pun penugasan dari HB IX, baik kepada Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, yang adalah atasan langsung dari Letkol Suharto, maupun kepada Kolonel A.H. Nasution -Panglima Tentara & Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa- atau kepada Kolonel T.B. Simatupang -Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang-, berdasarkan dokumen, bukti-bukti yang ada, serta sesuai hirarki dalam pemerintahan militer dan garis komando, dapat dengan tegas dinyatakan, bahwa perencanaan, persiapan, penugasan, pelaksanaan serta komando operasi militer yang dilancarkan di seluruh wilayahwewengkon Divisi III/GM III -termasuk serangan terhadap Yogyakarta- tanggal 1 Maret 1949, berada di pucuk pimpinan Divisi III/GM III dan kendali operasi sejak awal berada di tangan Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng.
 
== Perkembangan kontroversi serangan umum 1 maret ==
 
Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, IbukotaKutha krajan RI waktu itu yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluh tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.
 
Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas, terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak.
Larik 284:
Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun [[1995]], Suharto menyampaikan, agar buku tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun [[1997]], dimana suasana reformasi sudah mulai dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut diterbitkan, dan menulis kata sambutan.
 
Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayahwewengkon Gunung Sumbing, mendapat promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf "G" (General = Umum) dan ketika Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB di [[Den Haag]], Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI AD (Kepala Staf "Q" – Head Quarter). Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang mencatat: "dr Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayahwewengkon yang diduduki Belanda."
 
Salah satu keputusan [[Konperensi Meja Bundar]] adalah penyerahan seluruh perlengkapan militer Belanda yang ada di Indonésia, kepada TNI (Tentara Nasional Indonésia). Pada perundingan dengan pihak Belanda untuk serah terima perlengkapan militer tersebut, delegasi Indonésia dipimpin oleh Kwartiermeester-generaal Staf "Q" Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung. Wakilnya adalah Kolonel G.P.H. [[Djatikusumo]] [Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) [[Alex E. Kawilarang]] dalam pertemuan pada [[9 November]] [[1999]] di [[Gedung Joang ’45]], Menteng Raya 31]. Dalam pelaksanaan serah terima, Hutagalung dibantu oleh Kapten Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar, yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan militer, dan dr. Satrio, yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan medis.