Jati (tanduran): Béda antara owahan
Konten dihapus Konten ditambahkan
c éjaan using AWB |
éjaan using AWB |
||
Larik 37:
Jati menyebar luas mulai dari [[India]], [[Myanmar]], [[Laos]], [[Kamboja]], [[Thailand]], [[Indochina]], sampai ke [[Jawa]]. Jati tumbuh di [[hutan gugur|hutan-hutan gugur]], yang menggugurkan daun di musim [[kemarau]].
Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kemudian menyebar ke
Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya berasal dari Burma. Lainnya berasal dari hasil hutan tanaman jati.
Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat nagara asal jati dan
Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan [[curah hujan]] antara 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.
Larik 47:
Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejinis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu jinis pohon.
Ini dapat terjadi di
Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —yang dapat dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jinis pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada saat jinis-jinis pohon lain mati.
Larik 55:
Pada masa lalu, jati sempat dianggap sebagai jinis asing yang dimasukkan (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi ''isozyme'' yang dilakukan oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., ''t.t. '').
Karena nilai kayunya, jati kini juga dikembangkan di luar
'''Sebaran hutan jati di
Di [[
Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri adalah jinis yang membutuhkan zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.
Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna,
Pada 1817, Raffles mencatat jika hutan jati tidak ditemukan di
Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya di beberapa titik di bagian timur. Ada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.
Larik 71:
'''Penyebaran jati ke Jawa'''
Walaupun menyebar luas di Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil, mayoritas ahli sepakat bahwa jati bukan tumbuhan asli di
Oleh karena jarak antarpohon cenderung beraturan, Altma (1922) memperkirakan bahwa hutan jati di Jawa mungkin merupakan hasil penanaman di akhir era Hindu (abad ke-14 hingga ke-16). Ia menduga jika penguasa Jawa masa itu telah menganggap jati sebagai suatu pohon suci. Mereka lantas mengimpor jinis pohon itu dari Kelinga di pasisir timur India Selatan sejak abad kedua.
Jati memang banyak ditemukan di sekitar candi-candi untuk menghormati Dewa Syiwa. Namun, Simatupang (2000) melihat jika jati telah menyebar jauh lebih luas. Ia menduga penyebaran yang lebih luas ini berkat keterlibatan para petani sekitar candi. Para petani itu sudah melihat kegunaan jati dan budidayanya yang mudah.
Simatupang menduga bahwa, di tempat-tempat tertentu di Jawa yang tidak cocok untuk persawahan, perladangan berpindah dipraktikkan. Perladangan berpindah adalah cara bertani yang biasa dilakukan semasa itu di banyak
'''
Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pasisir utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di
Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di
Saat ini, sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik nagara di bidang kehutanan. Pada 2003, luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa. Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% luas Pulau Jawa.
Larik 114:
Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur (Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lain. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sebagai tanaman sela untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.
Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
'''• Fungsi sosial'''
Larik 124:
Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.
Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 jinis pohon jati yang tumbuh di seluruh
-->
== Jinis sing isih sakerabat ==
Larik 143:
* Awang, S.A. dkk., 2002, ''Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat''. Sinergi Press. Jogyakarta.
* Mahfudz dkk., ''t.t.'', ''Sekilas Jati''. Puslitbang Biotek dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogyakarta.
* Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna
* Lincoln, William dkk. 1989. The Encyclopedia of Wood. A Directory of Timbers and Their Special Uses. Oxford: Facts on File.
* Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II: Jaringan Asia (Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire globale. II. Les réseaux asiatiques). Winarsih Arifin dkk. (penerj.). Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.
Larik 149:
* Salim, H S. 2003. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
* Simon, Hasanu. 2004. Membangun Désa Hutan. Kasus Dusun Sambiroto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
* Dah, U Saw Eh & U Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta,
* Kertadikara, A.W.S. 1992. Variabilité génétique de quelques provenances de teck (Tectona grandis L.F.) et leur aptitude à la multiplication végétative. Thèse Université Nancy I.
* Lugt, Ch. S. ---. “Sejarah Penataan Hutan di
* Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta,
* Simon, Hasanu. 2000. “The Evolvement of Teak Forest Management in Java,
* Simatupang, Maruli H. 2000. “Some Notes on the Origin and Establishment of Teak Forest (Tectona grandis Lf.) in Java,
* Somaiya, RT. 2000. “Marketing & Trading of Plantation Teakwood in India”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta,
* Suharisno. 2000. “Role and Prospect: Teak Plantation in Rural Areas of Gunung Kidul, Yogyakarta”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta,
* Suseno, Oemi Hani’in. 2000. “The History of Teak Silviculture in
[[Kategori:Verbenaceae]]
|