352.737
besutan
c (éjaan, replaced: yaiku → ya iku (5), Kabupaten → Kabupatèn, sehat → séhat (4), inggih menika → inggih punika, Indonesia → Indonésia (29), keluwarga → kulawarga using AWB) |
(éjaan using AWB) |
||
| spouse=[[Shinta Nuriyah]]
| children=Alissa Qotrunnada, [[Yenny Wahid|Zannuba Ariffah Chafsoh]] (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari
| party=[[
| profession=
| religion= [[Islam]]
}}
'''KH Abdurrahman Wahid''', akrab diundang '''Gus Dur''' ({{lahirmati|[[Kabupatèn Jombang|Jombang]], [[Jawa Timur]]|7|9|1940|[[Jakarta]]|30|12|2009}}; lair kanthi jeneng '''Abdurrahman Addakhil'''<ref name="latar gus">[http://gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=view&id=21&Itemid=63 Latar belakang keluarga Gus Dur], GusDur.net</ref>) iku tokoh [[Muslim]] [[Indonésia]] lan pamimpin pulitik sing dadi [[Presiden Indonésia]] sing kapapat wiwit taun 1999 nganti 2001.
Gus Dur minangka ketua [[Nahdlatul Ulama]] lan sing ngadegaké [[
Abdurrahman Wahid ngayahi pamaréntahan dibantu déning para mentri jroning [[Kabinet]] [[Persatuan Nasional]].
Gus Dur ya iku pembarep saking enem sedhulur. Wahid lair ing kulawarga kang terhormat ing komunitas Muslim Jawa Timur. simbah saka bapaké ya iku [[Hasyim Asyari]], pengadegé [[Nahdlatul Ulama]] (NU), déné simbah saka sisih biyung, Bisri Syansuri, ya iku guru Muslim kepisan kang miwulang kelas karo bocah wadon <ref>Barton (2002), halaman 38-40</ref>.bapakè Gus Dur, Wahid Hasyim, kalebu ing Gerakan Nasionalis lan dadi menteri Agama tahun 1949.Biyunge, Ny. Hj. Sholehah, ya iku putri pendiri [[Pondok Pesantren]] Denanyar Jombang.
Gus Dur kanthi kabuka pernah nyatakake yèn dhéweké
| last =
| first =
| accessyear = 2008
| quote =
}} </ref> Tan A Lok dan Tan Eng Hwa putra saking Putri Campa, puteri [[Tiongkok]]
ing taun 1944, Wahid pindah saka Jombang nuju [[Jakarta]], pnggonan bapaké katut karo [[Masyumi|
Pawiyatan Wahid lanjut lan ing tahun 1954, dhéwéké malebu ing sekolah Menengah Pertama. ing taun iku, dhéweké ora munggah kelas. biyunge lajeng ngirim Gus Dur nuju [[Yogyakarta]] kanggo neruskake pawiyatane. ing tahun 1957, sawise lulus saka SMP, Wahid pindah nuju [[Magelang]]kanggo mulai Pawiyatan Muslim ing Pesantren Tegalrejo. dhéweké ngembanagaken reputasi minangka murid berbakat,namatkake pawiyatan pesantren ing wektu rong taun (haruse empat tahun). ing taun 1959, Wahid pindah nuju Pesantren Tambakberas ing Jombang. ing kana, sawetara nglanjutke pawiyatan dhewekan, Abdurrahman Wahid uga narima pakaryan kapisan dadi guru lan besuke minangka kepala sekolah [[madrasah]]. Gus Dur uga makarya dadi jurnalis majalah kayata ''Horizon'' dan ''Majalah Budaya Jaya''.
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrin Agama untuk belajar di [[Universitas Al Azhar]] di [[Kairo]], [[Mesir]]. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir ber[[bahasa Arab]], Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonésia. Pada saat ia bekerja, peristiwa [[Gerakan 30 September]] terjadi. Mayor Jendral [[Suharto]] menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonésia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan <ref>Barton (2002), halaman 89</ref>.
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di [[Universitas Baghdad]]. Wahid pindah ke [[Irak]] dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonésia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke
== Karir awal ==
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penaséhat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga <ref>Barton (2002), halaman 112</ref>. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap disana. Sebagai anggota Dewan Penaséhat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk [[
=== Mereformasi NU ===
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penaséhat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU [[Idham Chalid]] dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari [[Soekarno]] ke [[Soeharto]] awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya <ref>Barton (2002), halaman 136</ref>.
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh [[Majelis Permusyawaratan Rakyat]] (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan [[Pancasila]] sebagai Ideologi
=== Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama ===
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta Munas.<ref>Barton, halaman 143</ref>
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh [[Suharto]] dan rezim [[Orde Baru]]. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila.<ref>Barton (2002), halaman 153-154</ref> Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.<ref>Barton, halaman 162</ref> Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di [[Probolinggo]], Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyedikan interpretasi teks Muslim.<ref>Barton, halaman 165-166</ref> Kritik menuduh Gus Dur mengharapkan merubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".
=== Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru ===
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan [[ABRI]], mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, [[Ikatan Cendekiawan Muslim Indonésia]] (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh [[Baharuddin Jusuf Habibie]] dan didalamnya terdapat intelektual Muslim seperti [[Amien Rais]] dan [[Nurcholish Madjid]] sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung [[sektarianisme]] dan akan membuat Soeharto tetap kuat.<ref>Barton (2002), halaman 183</ref> Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.<ref>Barton, halaman 187</ref> Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai merubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi [[
=== Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi ===
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan [[Harmoko]] berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh [[ABRI]] dalam tindakan intimidasi.<ref>Barton (2002), halaman 203</ref> Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan [[Megawati Soekarnoputri]] dari [[
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.<ref>Barton (2002), halaman 221-222</ref> Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan [[Amien Rais]], anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
[[Berkas:Abdurrahman Wahid - World Economic Forum Annual Meeting Davos 2000.jpg|thumb|right|200px|Abdurrahman Wahid di Forum Ekonomi Dunia tahun 2000.]]
==== Perjalanan ====
Kepresidenan Gus Dur terkenal akan perjalanan jarak jauhnya, termasuk ke tempat-tempat kontroversial. Pada November 1999, Wahid mengunjungi
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan keluar negeri lainnya ke [[Swiss]] untuk menghadiri [[Forum Ekonomi Dunia]] dan mengunjungi [[Arab Saudi]] dalam perjalanan pulang menuju Indonésia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke
Wahid juga mengunjungi [[Irian Jaya]] dan [[Aceh]],
== Kehidupan pribadi ==
Wahid
== Penghargaan ==
Wahid ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh [[Tionghoa]] [[Semarang]] di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan [[Pecinan]] pada tanggal [[10 Maret]] [[2004]].<ref name="qurtuby"/>
Pada [[11 Agustus]] [[2006]], [[Gadis Arivia]] dan Gus Dur mendapatkan [[Tasrif Award-AJI]] sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.<ref>[http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/08/tgl/11/time/062049/idnews/653988/idkanal/10 Gus Dur dan Gadis Arivia Raih Tasrif Award-AJI 2006], detik.com</ref> Penghargaan ini diberikan oleh [[Aliansi Jurnalis Independen]] (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan
| last =
| first =
|