Abdurrahman Wahid: Béda antara owahan

Konten dihapus Konten ditambahkan
Top4Bot (parembugan | pasumbang)
éjaan using AWB
Top4Bot (parembugan | pasumbang)
éjaan using AWB
Larik 79:
 
== Karir awal ==
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di [[Universitas McGill]] di [[Kanada]]. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) <ref>Barton, halaman 103</ref>, organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokratdhémokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut ''Prisma'' dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonésia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
 
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah [[Majalah Tempo|Tempo]] dan koran [[Kompas (surat kabar)|Kompas]]. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Larik 91:
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penaséhat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga <ref>Barton (2002), halaman 112</ref>. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap disana. Sebagai anggota Dewan Penaséhat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
 
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk [[Parté Persatuan Pembangunan]] (PPP), sebuah Parté Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partaiparté Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya <ref>Barton (2002), halaman 133-134</ref>. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral [[Moerdani|Benny Moerdani]].
 
=== Mereformasi NU ===
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penaséhat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU [[Idham Chalid]] dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari [[Soekarno]] ke [[Soeharto]] awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya <ref>Barton (2002), halaman 136</ref>.
 
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh [[Majelis Permusyawaratan Rakyat]] (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan [[Pancasila]] sebagai Ideologi Nagara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti [[Quran]] dan [[Sunnah]] untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Nagara <ref>Barton, halaman 138</ref>. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partaiparté politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
 
=== Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama ===