Praja Galuh: Béda antara owahan

Konten dihapus Konten ditambahkan
c éjaan using AWB
Top4Bot (parembugan | pasumbang)
éjaan using AWB
Larik 1:
[[Gambar:Sunda-Galuh.gif|thumb|300px|[[Kali Citarum]] dadi wates antara Karajan Sunda lan Karajan Galuh.]]
'''Karajan Galuh''' iku sawijining karajan [[Sunda]] ing pulo Jawa, sing wilayahéwewengkoné dumunung ing antara [[Kali Citarum]] ing sisih kulon lan [[Kali Cipamali]] ing sisih wétan. Karajan iki minangka panerus saka karajan [[Kendan]], bawahan [[Tarumanagara]].
<!--
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno ''[[Carita Parahiyangan]]'', suatu [[naskah]] berbasa [[Sunda]] yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, ceritera mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.
 
Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun [[666]] meninggal dunia di tahun [[669]], kekuasaan Tarumanagara jatuh ke [[Tarusbawa]], menantunya dari Sundapura, salah satu wilayahwewengkon di bawah Tarumanagara. Karena Tarubawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun [[612]]), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayahwewengkon, Galuh dan [[Kerajaan Sunda|Sunda]] sepakat menjadikan [[Sungai Citarum]] sebagai batasnya.
 
== Kerajaan kembar ==
Wretikandayun punya tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di [[gunung Galunggung|Galunggung]]), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun ([[612]]-[[702]]), Wretikandayun diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru.
 
Dari Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan Purbasora. Akibat tergoda oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai terseret ke perbuatan nista, sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah). Sedangkan dari istrinya, Dewi Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja Kartikeyasingha, Mandiminyak mempunyai putra perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha dan Sena lantas menikahpunikah, dan mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri (atau disebut Sanjaya).
 
Kakuasaan Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702-[[709]]), kemudian diteruskan oleh Sena. Karena merasa punya hak mahkota dari Sempakwaja, Demunawan dan Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena (tahun [[716]]). Akibat terusir, Sena dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di sebelah timur, dan menikahpunikah dengan Dewi Citrakirana, putra dari Sang Resi Padmahariwangsa, raja [[Indraprahasta]].
-->
<!-- == Raja-raja Galuh ==
Larik 42:
<!--
== Kabupaten Galuh Ciamis, kejayaan zaman Kangjeng Prebu ==
Kangjeng Prebu sebagai Bupati Galuh yang keenambelas ini paling ternama. Ia mempunyai ilmu yang tinggi dan merupakan bupati pertama di wilayahwewengkon itu yang bisa membaca huruf latin. Memerintah dengan adil disertai dengan kecintaannya pada rakyat. Empat puluh tujuh tahun lamanya Raden Adipati Aria Kusumadiningrat memimpin Galuh Ciamis ([[1839]]-[[1886]]).
 
Pemerintah kolonial saat itu sedang menjalankan [[Tanam Paksa]]. Sebetulnya di tatar Priangan sejak tahun [[1677]] sudah dilaksanakan juga apa yang disebut ''Preangerstelsel'' atau sistim Priangan yang berkaitan dengan komoditi kopi. Sampai sekarang terabadikan dalam lagu yang berurai air mata yang bunyinya ''"Dengkleung dengdek, buah kopi raranggeuyan. Ingkeun saderek, ulah rek dihareureuyan"'', gambaran seorang wanita yang sedih berkepanjangan karena ditinggal pujaan hati bekerja dalam tanam paksa. Dari ''Preangerstelsel'', di tempat lain dimekarkan menjadi ''Culturstelsel''. Jelas di Kabupaten Galuh ini bukan cuma komoditi kopi yang dipaksa harus ditanam olah rakyat, tapi juga nila. Proyek nila ini menimbulkan [[insiden]] [[Pieter Herbert van Lawick van Pabst|Van Pabst]] yang menyebabkan Bupati Ibanagara dicopot dari jabatannya.
 
=== Mulai Berkebun Kelapa ===
Tentu saja Kangjeng Prebu bersedih hati dan prihatin menyaksikan rakyatnya dipaksa harus menanam kopi dan nila, sementara hasilnya diambil oleh [[BelandaWalanda]]. Rakyat hanya kebagian mandi keringatnya, cuma kebagian repotnya saja, meninggalkan anak, isteri, dan keluarga, sehari-hari hanya mengurus kebun kopi dan teh. Di zaman tanam paksa kopi inilah saat kelahiran tembang sedih ''Dengkleung Dengdek''. Tertulis dalam majalah ''Mangle'', almarhum Kang Pepe Syafe'i R. A. diminta berceritera saat bersantai di perkebunan Sineumbra di Bandung selatan. Saat itu administratur Mangle adalah Max Salhuteru yang penuh perhatian pada kehidupan budaya tradisional Sunda. Pepe Syafe'i didaulat untuk menceriterakan sejarah lahirnya tembang dramatis ''Deungkleung Dengdek'' oleh administratur itu.
Kangjeng Prebu sendiri menangis dalam hati, tidak tega menyaksikan rakyat tersiksa oleh pemerintah kolonial. Untuk mengurangi nestapa rakyat, agar selama bekerja tanam paksa tidak sampai perasaan kehilangan kerabat itu mengharu biru setiap waktu, dilakukanlah pembangunan berupa pembuatan beberapa saluran air dan bendungan, yang sekarang disebut saluran tersier dan sekunder termasuk dam yang kokoh. Sampai kini masih ada saluran air Garawangi yang dibangun tahun [[1839]], Cikatomas tahun [[1842]], Tanjungmanggu yang lebih terkenal dengan sebutan ''Nagawiru'' (berarti Naga biru) dibangun tahun [[1843]], dan saluran air Wangunreja tahun [[1862]].
Larik 53:
Selanjutnya bupati yang kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa tidur sebelum berbakti pada rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan kebun kelapa di berbagai tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap pengantin lelaki saat ''seserahan'' diwajibkan untuk membawa tunas kelapa, yang selanjutnya harus ditanam di halaman rumah tempat mereka mengawali perjalanan bahtera rumah tangga.
 
Dari zaman Kangjeng Prebu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat subur, dengan produksinya yang menumpuk (''ngahunyud'') di setiap pelosok kampung. Dalam waktu tak terlalu lama, Ciamis tersohor menjadi gudang kelapa paling makmur di Priangan timur. Banyak pabrik minyak kelapa didirikan oleh para pengusaha, terutama Cina. Yang paling tersohor adalah ''Gwan Hien'', yang oleh lidah orang Galuh menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan pabrik di Pawarang yang terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini musnah tertimpa bom saat Galuh dibombadir oleh BelandaWalanda. Guanhin juga tinggal nama, demikian juga yang lainnya. Saat ini, minyak kelapa terdesakterdésak oleh minyak kelapa sawit dan minyak goreng jenis lainnya.
 
=== Sekolah Sunda ===
Larik 59:
 
Menurut para menak Galuh zaman sekarang, terutama keturunan Kangjeng Prebu, zaman dulu ''guguritan'' yang disusun dalam pupuh Kinanti ini suka dinyanyikan oleh anak-anak sekolah rakyat.
Selain bangunan untuk kepentingan keluarga Bupati, Kanjeng Prebu juga membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana lainnya. Antara tahun [[1859]] sampai [[1877]] pembangunan berlangsung tanpa henti. Diawali dengan dibangunnya gedung pemerintahan kabupaten yang megah, tepatnya di gedung DPRD sekarang, menghadap utara. Lantas gedung untuk Asisten Residen, yang sekarang menjadi gedung negaranagara atau gedung kabupaten, sekaligus tempat tinggal Bupati sekeluarga. Bangunan lainnya adalah markas militer, rumah pemasyarakatan, mesjid agung, gedung kantor telepon.
 
Tampaknya Kangjeng Prebu sama sekali tidak melupakan satu pun kepentingan masyarakat. Pendidikan diutamakan oleh Bupati yang mahir ber[[basa Perancis]] ini. Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga Bupati, sengaja dipanggil guru BelandaWalanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor kabupaten untuk mengajarkan membaca dan berbicara [[basa BelandaWalanda]]. Tahun [[1862]], Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun [[1874]], Sekolah Sunda yang kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di Tatar Sunda.
 
Dalam upaya menyebarkan agama [[Islam]], Kangjeng Prebu mempunyai cara-cara tersendiri. Terutama dalam upaya menghilangkan kepercayaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan sesembahan berupa arca batu setinggi manusia. Kangjeng Prebu sengaja suka mengadakan silaturahmi dan pengajian dengan mengajak serta masyarakat.
Larik 69:
Kangjeng Prebu merupakan Bupati pertama di Tatar Sunda yang bisa membaca aksara latin, juga mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut ceritera yang berkembang di masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng Prebu juga menguasai makhluk gaib yang di Ciamis terkenal disebut ''onom''.
Tahun [[1861]], jalan kereta api akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga, dari Tasikmalaya ke Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai Yogyakarta.
Kangjeng Prebu segera mengajukan permohonan, supaya jalan kereta api bisa melewati kota Galuh, pusat kabupaten, dan bukannya melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya pembuatannya memang jadi membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang panjang di Cirahong dan Karangpucung. Tetapi akhirnya BelandaWalanda menerima permohonan itu. Walaupun stasiun yang dibangun BelandaWalanda kini sudah tua, tapi Ciamis sampai kini dilewati jalan kereta api, diantaranya kereta api Galuh.
 
Tahun [[1886]] Kangjeng Prebu ''lengser kaprabon'', jabatannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Adipati Aria Kusumasubrata.
Tapi walaupun sudah pensiun, Kangjeng Prebu tidak hanya mengaso sambil ongkang-ongkang kaki di kursi goyang. Ia masih terus berbenah dan membangun Galuh Ciamis. Masih di zamannya berkuasa, Undang-undang Agraria mulai dipakai, tepatnya tahun [[1870]]. Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan swasta, diantaranya Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan, Damarcaang, dan Sindangrasa.
 
Tahun [[1915]] Kabupaten Galuh secara resmi masuk ke [[Parahyangan|Karesidenan Priangan]], dan sebutannya menjadi Kabupaten Ciamis. Tanggal [[1 Januari]] [[1926]] Pulau Jawa dibagi menjadi tiga provinsipropinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat dibagi menjadi lima [[karesidenan]], 18 [[Kabupaten]] dan enam [[kotapraja]]. Ciamis selanjutnya masuk ke Karesidenan Priangan Timur.
 
Di lokasi keraton Selagangga, Kangjeng Prebu juga membuat mesjid megah. Orang yang dipercayai untuk mengurus dan menghidupkannya adalah Haji Abdul Karim.
Untuk pemekaran agama Islam, Bupati Galuh memerintahkan para Kepala Desa supaya di tiap desanyadésanya didirikan mesjid, selain untuk ibadah secara umum, juga untuk anak-anak dan remaja belajar mengaji dan ilmu agama. Pendeknya untuk membangun mental spiritual masyarakat. Masjid Selagangga sangat ramai dikunjungi para remaja.
 
=== Peninggalan Kangjeng Prebu ===
Namun kini yang ada hanya tinggal makam keluarga dan Jambansari yang tinggal secuil. Situ yang dulu ada di sebelah barat telah tiada bekasnya barang sedikitpun. Padahal dulu ada dua situ, di sebelah barat dan timur. Sekarang sudah berubah menjadi perkampungan. Tanah yang dulu menjadi milik anak dan cucu [[Christiaan Snouck Hurgronje]], sebelah timur tapal batas dengan Jambansari, kini juga sudah menjadi perkampungan.
 
Pemakaman Kangjeng Prebu sampai sekarang masih diurus dan dipelihara oleh Yayasan yang dipimpin oleh Toyo Djayakusuma. Sementara waktu ke belakang, sempat terlantar kurang terurus karena tiadanya biaya. Jambansari hampir hilang terkubur ilalang. Maka didatangilah rumah keluarga [[Menteri Pekerjaan Umum Republik IndonesiaIndonésia]] di [[Jakarta]] yang saat itu dijabat Ir. [[Radinal Muchtar]]. Oleh keluarga itu kemudian dilakukan pembenahan dan perbaikan serta diangkat lagi martabatnya. Kebetulan isteri dari Radinal masih menak Galuh Ciamis, keturunan Kangjeng Prebu. Jadi masih merasa perlu bertanggungjawab untuk memelihara pemakanam dan komplek Jambansari yang oleh rakyat Galuh sangat dimulyakan.
 
Ada yang sedikit menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis, terutama yang bertempat tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek pemakanan dan Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya menjadi Jalan K.H. [[Ahmad Dahlan]] mengikuti nama pimpinan [[Nahdlatul Ulama]]. Oleh sebab itu orang Galuh tetap menyebutnya Selagangga, sebab di situ ada peninggalan Kangjeng Prebu yang dirasa telah besar jasanya dalam sejarah Galuh Ciamis. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ahmad Dahlan, mereka meminta bupati untuk mengembalikan nama Jalan Selagangga untuk mengenang Kanjeng Prebu yang memiliki keraton di tempat itu, memimpin Galuh dari sana, bahkan dimakamkannya juga di pemakaman Sirnayasa (Jambansari) Selagangga. Mereka merasa tak melihat adanya alasan yang bisa diterima bila Jalan Selagangga harus berganti nama.
Larik 490:
*'''[[Ayatrohaedi]]'''. 2005. ''Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon''. Pustaka Jaya, Jakarta.
*'''Edi Suhardi Ekadjati'''. 2005. ''Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta''. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
#Richadiana Kartakusuma (1991), Anekaragam Basa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Basa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang ArkeologiArkéologi). Fakultas Pasca Sarjana Universitas IndonesiaIndonésia.
*'''Yoséph Iskandar'''. 1997. ''Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa''. Geger Sunten, Bandung.